A.
Hukum Waris menurut BW
Hukum
waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena
wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh
si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya,
baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara
mereka dengan pihak ketiga.[1]
Hukum
waris adalah bagian dari hukum kekayaan. Akan tetapi, erat sekali hubungannya
dengan hukum keluarga, karena seluruh pewarisan menurut undang-undang
berdasarkan atas hubungan keluarga sedarah dan hubungan perkawinan. Hukum waris
tersebut tidak mencampuri hukum publik. Maka dari itu suatu kedudukan jabatan
tidak dapat diwariskan kecuali kedudukan raja yang turun temurun yang dapat
diwariskan.[2]
Dalam
hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan
kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang.
Dalam
hukum waris berlaku juga suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka
seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli
warisnya.[3]
B.
Warisan dalam Sistem
Hukum Waris BW
Berbeda
dengan sistem hukum Islam dan sistem hukum adat tentang warisan. Menurut kedua
sistem tersebut yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah
sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih, artinya setelah
dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran
lain yang diakibatkan oleh meninggalnya pewaris. Karenanya harta yang diterima
oleh para ahli waris benar-benar hak mereka yang bebas dari tuntutan hutang
pewaris. Sedangkan warisan dalam sistem hukum perdata yang bersumber pada BW
itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban
pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Di
atas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut BW mengakibatkan
peralihan hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal
ini secara tegas disebutkan dalam pasal 833 BW, yaitu “ sekalian ahli waris
dengan sendirinya demi hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala
hak, dan segala piutang dari yang meninggal”. Peralihan hak dan kewajiban dari
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut “saisine”. Maksud dari
“saisine” yaitu ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang
meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila
ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.[4]
Di
dalam BW tidak dikenal perbedaan asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris,
seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BW, yaitu “Undang-undang tidak
memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam sesuatu
peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”.[5]
Jadi di dalam BW tidak memandang harta asal yang dibawa masing-masing ketika
menikah maupun harta yang diperoleh selama dalam perkawinan.
C.
Pewaris dan Dasar Hukum
Mewaris
Pewaris
adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau perempuan yang
meninggalkan sejumlah harta kekayaan. Dasar hukum seorang ahli waris yang
mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW pasal 874 ada dua
cara, yaitu:
1. Menurut
ketentuan undang-undang
2. Ditunjuk
dalam surat wasiat (testamen)
Undang-undang telah menentukan bahwa untuk
melanjutkan kedudukan hokum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin
disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang
berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta
kekayaan setelah ia meninggal dunia. Akan tetapi apabila ternyata seseorang
tidak menentukan sendiri ketika ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap
kekayaannya, maka dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan
perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut.[6]
Dalam
hal mewarisi menurut undang-undang kita dapat membedakan antara orang-orang
yang mewarisi “uit eigen hoofde” dan mereka yang mewarisi “bij
plaatsvervulling”. Seorang dikatakan mewarisi jika ia mendapat warisan itu
berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si meninggal. Ia dikatakan mewarisi
jika sebenarnya seorang lain yang berhak atas suatu bagian warisan, tetapi
orang itu telah meninggal lebih dahulu daripada orang yang meninggalkan
warisan. Apabila beberapa orang bersama-sama menggantikan seseorang, maka
dikatakan mereka itu mewarisi “bij staken” karena mereka itu bersama-sama
merupakan suatu “staak” atau cabang. Makin banyak anggota suatu cabang, semakin
sedikit bagian masing-masing.[7]
Di
samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris
juga dapat melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat atau
testament adalah “suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki
setelah ia meninggal dunia” (pasal 875 BW).[8]
Sifat
utama pembuat surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat
surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat
surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut,
sedangkan setelah pembuat surat meninggal dunia, surat wasiat tidak dapat
diubah, dicabut maupun ditarik kembali oleh siapapun.
Seseorang
dapat mewariskan sebagian atau seluruh hartanya dengan surat wasiat. Apabila
seseorang hanya menetapkan sebagian dari hartanya melalui surat wasiat, maka
sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang. Jadi pemberian
seseorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan
hak untuk mewaris secara ab intestate.[9]
Ahli
waris menurut wasiat sama halnya dengan seorang ahli waris menurut
undang-undang dalam hal memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal “onder
algemene title”.
Suatu
testament juga dapat berisikan suatu “legaat”, yaitu suatu pemberian kepada
seorang. Adapun yang dapat diberikan dalam suatu legaat dapat berupa:
1. Satu
atau beberapa benda tertentu;
2. Seluruh
benda dari satu macam atau jenis, misalnya seluruh benda yang bergerak;
3. Hak
“vruchtgebruik” atas sebagian atau seluruh warisan;
4. Sesuatu
hak lain terhadap boedel, misalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda
tertentu dari boedel.
Isi
suatu testament tidak usah terbatas pada hal-hal yang mengenai kekayaan harta
benda saja. Dalam suatu testament dapat juga dengan sah dilakukan, penunjukan seorang
wali untuk anak-anak si meninggal,
pengakuan seorang anak yang lahir di luar perkawinan, atau pengangkatan
seorang executeurtestamentair, yaitu seorang yang dikuasakan mengawasi dan
mengatur pelaksanaan testament.
Menurut
bentuknya ada tiga macam testament, yaitu:
1. Openbaar
testament
Openbaar
testament dibuat oleh seorang notaris. Orang yang akan meninggalkan warisan
menghadap pada notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris itu membuat suatu
akte dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
2. Olographis
testament
Suatu olographis
testament harus ditulis dengan tangan orang yang akan meninggalkan warisan itu
sendiri. Harus diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan.
Penyerahan tersebut harus pula dihadiri oleh dua orang saksi.
3. Testament
tertutup atau rahasia
Suatu testament
rahasia juga dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi
tidak diharuskan ia menulis dengan tangannya sendiri. Suatu testament rahasia
harus selalu tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus dihadiri
oleh empat orang saksi.
Di
samping tiga macam testament tersebut, undang-undang mengenal juga “codicil”,
yaitu suatu akte di bawah tangan (jadi bukan akte notaris), di mana orang
yang akan meninggalkan warisan itu menetapkan hal-hal yang tidak termasuk dalam
pemberian atau pembagian warisan itu sendiri. Misalnya membuat
pesanan-pesanan tentang penguburan mayatnya.
Untuk
dapat membuat suatu testament, seorang harus sudah mencapai umur 18 tahun atau
sudah dewasa, atau sudah kawin meskipun belum berumur 18 tahun. Selanjutnya,
orang yang membuat suatu testament harus sungguh-sungguh mempunyai pikiran yang
sehat. Jika dapat dibuktikan, bahwa pada waktu orang itu membuat testament
pikirannya tidak sehat atau sedang terganggu, testament itu dapat dibatalkan
oleh hakim (Pasal 896-898 BW).[10]
[1] A.
Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda
Jilid I, (Jakarta: PT Intermasa, 1990), hlm. 1
[5] R.
Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2001), hlm. 225
[8] R.
Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2001), hlm. 232
Tidak ada komentar:
Posting Komentar