SELAMAT DATANG DI QISHOTU ILMI (LOVELY QOLBY)

Minggu, 21 Desember 2014

Waris Menurut BW

A.           Hukum Waris menurut BW
Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.[1] 
Hukum waris adalah bagian dari hukum kekayaan. Akan tetapi, erat sekali hubungannya dengan hukum keluarga, karena seluruh pewarisan menurut undang-undang berdasarkan atas hubungan keluarga sedarah dan hubungan perkawinan. Hukum waris tersebut tidak mencampuri hukum publik. Maka dari itu suatu kedudukan jabatan tidak dapat diwariskan kecuali kedudukan raja yang turun temurun yang dapat diwariskan.[2]
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Dalam hukum waris berlaku juga suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.[3]

B.            Warisan dalam Sistem Hukum Waris BW
Berbeda dengan sistem hukum Islam dan sistem hukum adat tentang warisan. Menurut kedua sistem tersebut yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh meninggalnya pewaris. Karenanya harta yang diterima oleh para ahli waris benar-benar hak mereka yang bebas dari tuntutan hutang pewaris. Sedangkan warisan dalam sistem hukum perdata yang bersumber pada BW itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Di atas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut BW mengakibatkan peralihan hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 833 BW, yaitu “ sekalian ahli waris dengan sendirinya demi hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”. Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut “saisine”. Maksud dari “saisine” yaitu ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.[4]
Di dalam BW tidak dikenal perbedaan asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris, seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BW, yaitu “Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam sesuatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”.[5] Jadi di dalam BW tidak memandang harta asal yang dibawa masing-masing ketika menikah maupun harta yang diperoleh selama dalam perkawinan.

C.           Pewaris dan Dasar Hukum Mewaris
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan. Dasar hukum seorang ahli waris yang mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW pasal 874 ada dua cara, yaitu:
1.      Menurut ketentuan undang-undang
2.      Ditunjuk dalam surat wasiat (testamen)
  Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hokum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta kekayaan setelah ia meninggal dunia. Akan tetapi apabila ternyata seseorang tidak menentukan sendiri ketika ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap kekayaannya, maka dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut.[6]
Dalam hal mewarisi menurut undang-undang kita dapat membedakan antara orang-orang yang mewarisi “uit eigen hoofde” dan mereka yang mewarisi “bij plaatsvervulling”. Seorang dikatakan mewarisi jika ia mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si meninggal. Ia dikatakan mewarisi jika sebenarnya seorang lain yang berhak atas suatu bagian warisan, tetapi orang itu telah meninggal lebih dahulu daripada orang yang meninggalkan warisan. Apabila beberapa orang bersama-sama menggantikan seseorang, maka dikatakan mereka itu mewarisi “bij staken” karena mereka itu bersama-sama merupakan suatu “staak” atau cabang. Makin banyak anggota suatu cabang, semakin sedikit bagian masing-masing.[7]
Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris juga dapat melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat atau testament adalah “suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia” (pasal 875 BW).[8]
Sifat utama pembuat surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat surat meninggal dunia, surat wasiat tidak dapat diubah, dicabut maupun ditarik kembali oleh siapapun.
Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruh hartanya dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian dari hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang. Jadi pemberian seseorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab intestate.[9]  
Ahli waris menurut wasiat sama halnya dengan seorang ahli waris menurut undang-undang dalam hal memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal “onder algemene title”.
Suatu testament juga dapat berisikan suatu “legaat”, yaitu suatu pemberian kepada seorang. Adapun yang dapat diberikan dalam suatu legaat dapat berupa:
1.      Satu atau beberapa benda tertentu;
2.      Seluruh benda dari satu macam atau jenis, misalnya seluruh benda yang bergerak;
3.      Hak “vruchtgebruik” atas sebagian atau seluruh warisan;
4.      Sesuatu hak lain terhadap boedel, misalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari boedel.
Isi suatu testament tidak usah terbatas pada hal-hal yang mengenai kekayaan harta benda saja. Dalam suatu testament dapat juga dengan sah dilakukan, penunjukan seorang wali untuk anak-anak si meninggal,  pengakuan seorang anak yang lahir di luar perkawinan, atau pengangkatan seorang executeurtestamentair, yaitu seorang yang dikuasakan mengawasi dan mengatur pelaksanaan testament.
Menurut bentuknya ada tiga macam testament, yaitu:
1.      Openbaar testament
Openbaar testament dibuat oleh seorang notaris. Orang yang akan meninggalkan warisan menghadap pada notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris itu membuat suatu akte dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
2.      Olographis testament
Suatu olographis testament harus ditulis dengan tangan orang yang akan meninggalkan warisan itu sendiri. Harus diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan. Penyerahan tersebut harus pula dihadiri oleh dua orang saksi.

3.      Testament tertutup atau rahasia
Suatu testament rahasia juga dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan ia menulis dengan tangannya sendiri. Suatu testament rahasia harus selalu tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus dihadiri oleh empat orang saksi.
Di samping tiga macam testament tersebut, undang-undang mengenal juga “codicil”, yaitu suatu akte di bawah tangan (jadi bukan akte notaris), di mana orang yang akan meninggalkan warisan itu menetapkan hal-hal yang tidak termasuk dalam pemberian atau pembagian warisan itu sendiri. Misalnya membuat pesanan-pesanan tentang penguburan mayatnya.
Untuk dapat membuat suatu testament, seorang harus sudah mencapai umur 18 tahun atau sudah dewasa, atau sudah kawin meskipun belum berumur 18 tahun. Selanjutnya, orang yang membuat suatu testament harus sungguh-sungguh mempunyai pikiran yang sehat. Jika dapat dibuktikan, bahwa pada waktu orang itu membuat testament pikirannya tidak sehat atau sedang terganggu, testament itu dapat dibatalkan oleh hakim (Pasal 896-898 BW).[10]



[1] A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I, (Jakarta: PT Intermasa, 1990), hlm. 1
[2] Ibid., hlm. 5
[3] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), hlm. 95-96
[4] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 20-23
[5] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 225
[6] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 24-25
[7] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), hlm. 98
[8] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 232
[9] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 25
[10] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), hlm. 107-111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar