SELAMAT DATANG DI QISHOTU ILMI (LOVELY QOLBY)

Senin, 22 Desember 2014

PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)

A.      Pengertian Pemberhentian Kerja
Pemberhentian adalah fungsi operatif terakhir manajemen sumber daya manusia. Istilah pemberhentian sinonim dengan pemisahan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dari suatu organisasi perusahaan. Dengan pemberhentian, berarti berakhirnya keterikatan kerja karyawan terhadap perusahaan.
Karyawan yang dilepas akan kehilangan pekerjaan dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Manajer dalam melaksanakan pemberhentian harus memperhitungkan untung dan ruginya, apalagi kalau diingat bahwa saat karyawan diterima adalah dengan cara baik-baik, sudah selayaknya perusahaan melepas mereka dengan cara yang baik pula.
Pemberhentian harus didasarkan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 KUHP, berperikemanusiaan dan menghargai pengabdian yang diberikannya kepada perusahaan, misalnya memberikan uang pensiun dan pesangon.[1]
Selama bertahun-tahun ada doktrin yang diterima secara luas bahwa manajer dapat memecat atas kehendak mereka sendiri. Akan tetapi, lewat jalur legislatif dan hukum, karyawan semakin banyak memenangkan berbagai hak yang kompleks. Sebagai hasilnya, semakin banyak perusahaan yang mendapat jawaban PHK tidak sah di pengadilan yang tampaknya memandang pekerjaan sebagai bentuk kontrak legal atau hak milik, dengan kira-kira hak yang sebanding. Keputusan mengenai PHK yang tidak sah menantang doktrin hubungan kerja atas kehendak yang digunakan dalam banyak pengadilan.[2]

B.       Alasan-Alasan Pemberhentian Kerja
Pemberhentian karyawan oleh perusahaan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:[3]

1.        Undang-Undang
Undang-undang dapat menyebabkan seorang karyawan harus diberhentikan dari suatu perusahaan. Misalnya, karyawan anak-anak, karyawan WNA atau karyawan yang terlibat organisasi terlarang.

2.        Keinginan Perusahaan
Keinginan perusahaan dapat menyebabkan diberhentikannya seorang karyawan baik secara terhormat ataupun dipecat. Hal semacam ini disebabkan oleh:
a.       Karyawan tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya.
b.      Perilaku dan disiplinnya kurang baik.
c.       Melanggar peraturan-peraturan dan tata tertib perusahaan.
d.      Tidak dapat bekerja sama dan terjadi konflik dengan karyawan lain.
e.       Melakukan tindakan amoral dalam perusahaan.


3.        Keinginan Karyawan
Pemberhentian atas keinginan karyawan sendiri dengan mengajukan permohonan untuk berhenti dari perusahaan tersebut. Permohonan hendaknya disertai alasan-alasan dan saat akan berhentinya, misalnya bulan depan.
Alasan-alasan pengunduran antara lain:
a.       Pindah ke tempat lain untuk mengurus orang tua,
b.      Kesehatan yang kurang baik,
c.       Untuk melanjutkan pendidikan, atau
d.      Berwirausaha.
 Akan tetapi seringkali alasan-alasan di atas hanya dibuat-buat saja oleh karyawan sedangkan alasan yang sesungguhnya adalah balas jasa terlalu rendah, mendapat pekerjaan yang lebih baik, suasana dan lingkungan pekerjaan yang kurang cocok, perlakuan yang kurang adil, dan sebagainya.
Jika banyak karyawan yang berhenti atas keinginan sendiri, hendaknya manajer mencari penyebab sebenarnya dan mengintropeksikan agar karyawan dapat dicegah. Misalnya menaikkan balas jasa dan menciptakan suasana serta lingkungan pekerjaan yang baik. Karyawan yang berhenti atas permintaan sendiri, uang pesangon hanya diberikan berdasarkan kebijaksanaan perusahaan saja karena tidak ada ketentuan hukum yang mengaturnya. 

4.        Pensiun
Pensiun adalah pemberhentian karyawan atas keinginan perusahaan, undang-undang ataupun keinginan karyawan sendiri. Keinginan perusahaan mempensiunkan karyawan karena produktivitas kerjanya rendah sebagai akibat usia lanjut, cacat fisik, dan sebagainya. Undang-undang mempensiunkan seseorang karena telah mencapai batas usia dan masa kerja tertentu. Misalnya usia 55 tahun dan minimum masa kerja 15 tahun.
Karyawan yang pensiun akan memperoleh uang pensiun yang besarnya telah diatur oleh undang-undang bagi pegawai negeri dan bagi karyawan swasta diatur sendiri oleh perusahaan bersangkutan.

5.        Kontrak Kerja Berakhir
Karyawan kontrak akan dilepas atau diberhentikan apabila kontrak kerjanya berakhir. Pemberhentian berdasarkan berakhirnya kontrak kerja tidak menimbulkan konsekuensi karena telah diatur terlebih dahulu dalam perjanjian saat mereka diterima.

6.        Kesehatan Karyawan
Kesehatan karyawan dapat menjadi alasan untuk pemberhentian karyawam. Inisiatif pemberhentian bisa berdasarkan keinginan perusahaan ataupun keinginan karyawan.

7.        Meninggal Dunia
Karyawan yang meninggal dunia secara otomatis putus hubungan kerjanya dengan perusahaan. Perusahaan memberikan pesangon atau uang pensiun bagi keluarga yang ditinggalkan sesuai dengan peraturan yang ada.
Karyawan yang tewas atau meninggal dunia saat melaksanakan tugas, pesangon atau golongannya diatur tersendiri oleh undang-undang. Misalnya, pesangonnya lebih besar dan golongannya dinaikkan sehingga uang pensiunnya lebih besar.

8.        Perusahaan Dilikuidasi
Karyawan akan dilepas jika perusahaan dilikuidasi atau ditutup karena bangkrut. Bangkrutnya perusahaan harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, sedang karyawan yang dilepas harus mendapat pesangon sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Suatu perusahaan yang memecat karyawannya tanpa suatu alasan yang dapat diterima maka pemutusan hubungan itu secara yuridis formal tidak dibenarkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban masing-masing pihak bukan karena pemutusan hubungan kerja, tetapi karena statusnya sebagai karyawan dan majikan. Dengan sendirinya, pihak majikan tetap mempunyai kewajiban membayar upahnya.[4]

C.      Proses Pemberhentian Kerja
Pemberhentian karyawan hendaknya berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang ada agar tidak menimbulkan masalah. Seyogianya pemberhentian dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya, sebagaimana pada saat mereka diterima menjadi karyawan. Dengan demikian, tetap terjalin hubungan informal yang baik antara perusahaan dengan mantan karyawan. Pemecatan karyawan harus didasarkan kepada peraturan dan perundang-undangan karena setiap karyawan mendapat perlindungan hokum sesuai dengan statusnya.
Proses pemecatan atau pemberhentian karyawan harus menurut prosedur sebagai berikut:
1.      Musyawarah karyawan dengan pimpinan perusahaan.
2.      Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.
3.      Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan P4D.
4.      Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan P4P.
5.      Pemutusan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri.
Prosedur ini tidak perlu dilakukan semuanya, jika pada tahap tertentu telah dapat diselesaikan dengan baik. Tetapi jika tidak terselesaikan, penyelesaiannya hanya dengan keputusan pengadilan negeri.[5]
Kemudian menurut Mutiara S. Panggabean Proses Pemberhentian hubungan kerja jika sudah tidak dapat dihindari maka cara yang diatur telah diatur dalam Undang-undang No.12 tahun 1964. Perusahaan yang ingin memutuskan hubungan kerja harus mendapatkan izin dari P4D (Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah) dan jika ingin memutuskan hubungan kerja dengan lebih dari sembilan karyawan maka harus dapat izin dari P4P (Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat) selama izin belum didapatkan maka perusahaan tidak dapat memutuskan hubungan kerja dengan karyawan dan harus menjalankan kewajibannya.
Namun sebelum pemberhentian hubungan kerja harus berusaha untuk meningkatkan efisiensi dengan:
1.      Mengurangi shift kerja
2.      Menghapuskan kerja lembur
3.      Mengurangi jam kerja
4.      Mempercepat pensiun
Meliburkan atau merumahkan karyawan secara bergilir untuk sementara.[6]



[1] Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001), hlm. 205-206
[2] James A. F. Stoner, R. Edward Freeman, Daniel R. Gilbert Jr, Manajemen, Jilid II (Jakarta: PT Prenhallindo, 1996), hlm. 90-91
[3] Nashar, Manajemen Sumber Daya Manusia (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 122-125
[4] I Komang Ardana. Ni Wayan Mujiati. I Wayan Mudiartha Utama, Manajemen Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 276
[5] Nashar, Manajemen Sumber Daya Manusia (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 125-126
[6] Panggabean Mutiara S, Manajemen Sumber Daya Manusia (Bogor: Ghalia Indah, 2004), hlm. 122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar