SELAMAT DATANG DI QISHOTU ILMI (LOVELY QOLBY)

Kamis, 14 November 2013

Fungsi dan Peran Lembaga Keuangan Syari'ah

Fungsi dan Peran Lembaga Keuangan
Perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan disebut lembaga keuangan. Lembaga keuangan merupakan lembaga intermediasi yang mempertemukan antara pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan pihak yang mengalami kekurangan dana. Karena berfungsi sebagai intermediasi, maka lembaga keuangan termasuk metode pembiayaan yang bersifat tidak langsung.
Adapun fungsi dan peran lembaga keuangan adalah sebagai berikut:
·           Melancarkan pertukaran produk (barang dan jasa) dengan menggunakan jasa keuangan.
·           Menghimpun dana dari masyarakat untuk disalurkan kembali dalam bentuk pembiayaan.
·           Memberikan pengetahuan/informasi kepada pengguna jasa keuangan sehingga membuka peluang keuntungan.
·           Lembaga keuangan memberikan jaminan hukum mengenai keamanan dana masyarakat yang dipercayakan.
·           Menciptakan likuiditas sehingga dana yang disimpan dapat dipergunakan ketika dibutuhkan.
Dalam suatu perekonomian, peran yang sangat penting dari lembaga keuangan adalah:
1.         Peranan lembaga keuangan terkait dengan mekanisme pembayaran antara pelaku-pelaku ekonomi sebagai akibat transaksi yang mereka lakukan (transmission role).
2.         Berkaitan dengan pemberian fasilitas mengenai aliran modal dari pihak yang kelebihan dana ke pihak yang membutuhkan dana (intermediation role).
3.         Lembaga keuangan berperan dalam mengurangi kemungkinan adanya risiko yang ditanggung oleh pihak pemilik dana atau penabung.

Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010)
Fatwa DSN-MUI tentang Asuransi Syariah
Dengan merujuk pada dasar hukum tersebut Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa. Untuk pengembangan produk hukum Asuransi Syariah (Takaful), keberadaan fatwa DSN-MUI mempunyai fungsi yang sangat fundamental. Hingga sekarang ini, fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan DSN-MUI yang terkait dengan upaya pengembangan Asuransi Syariah (Takaful) intinya adalah sebagai berikut:
1.      Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Pertama: Ketentuan Umum
a.       Asuransi Syariah (ta’min atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
b.      Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba (bunga), zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat).
c.       Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
d.      Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
e.       Premi adalah kewajiban pesefta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
f.       Klaim adalah hak peserta asuransi yang waiib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Ke dua: Akad dalam Asuransi
a.       Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan/atau akadtabarru'.
b.      Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru' adalah hibah.
c.     Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan: (a) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan; (b) Cara dan waktu pembayaran premi; (c) Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru' serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ke tiga: Kedudukan para pihak dalam akad Tijarah dan Tabarru’
a.       Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis).
b.      Dalam akad tabarrru' (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Ke empat: Ketentuan dalam akad Tijarah dan Tabarru,
a.       Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
b.      Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akan tijarah
Ke lima: Jenis Asuransi dan Akadnya
a.       Dipandang dari segi jenis asuransi itu sendiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa
b.      Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.
Ke enam: Premi
a.       Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.
b.      Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam pengh itungannya.
c.       Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasirkan kepada peserta.
d.      Premi yang berasal dari akad tabarru’ dapat diinvestasikan
Ke tujuh: Klaim
a.       Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
b.      Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
c.       Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
d.      Klaim atas akad tabarru’ merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
Ke delapan: Investasi
a.       Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul'
b.      lnvestasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
Ke Sembilan: Reasuransi
Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip-prinsip syari’ah.
Ke sepuluh: Pengelolaan
a.       Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah
b.      Perusahaan asuransi syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tiiarah (mudharabah).
c.       Perusahaan asuransi syariah memperoleh uirah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).
Ke sebelas: Ketentuan tambahan
a.       Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyarawah.
b.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya'
2.      Fatwa No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musyarakah Asuransi
Pertama: Ketentuan Umum
a.       Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah
b.      Peserta adalah peserta asuransi atau perusahaan asuransi dalan reasuransi
Ke dua: Ketentuan Hukum
a.       Mudharabah musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuranai, kaena merupakan bagian dari hukum mudharabah
b.      Mudharabah musytarakah dapat diterapkan pada produk asuransi yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun non tabungan.
Ke tiga: Ketentuan Akad
a.       Akad yang digunakan adalah akad mudharabah musytarakah, yaitu perpaduan dari akad mudharabah dan akad musyarakah
b.      Perusahaan asuransi sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama dana peserta.
c.       Modal atau dana perusahaan asuransi dan dana peserta diinvestasikan secara bersama-sama dalam portofolio
d.      Perusahaan asuransi sebagai mudharib mengelola investasi dana tersebut
e.       Dalam akad, harus disebutkan sekurang-kurangnya: (a) hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi, (b) besran nisbah, car adan waktu pembagian hasil investasi, (c) syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan produk asuransi yang diakadkan.
f.       Pembagian hasil investasi dapat dilakukan dengan salah satu alternative sebagai berikut:
Alternatif I
1)      Hasil investasi dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dengan peserta (sebagai shahibul mal) sesuai dengan nisbah yang disepakati
2)      Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan para peserta sesuai dengan porsi modal atau dana masing-masing.
Alternatif II
1)      Hasil investasi dibagi secara proposional antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) denan peserta berdasarkan porsi modal atau dana masing-masing.
2)      Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dibagi antara perusahaan asuransi sebagai mudharib dengan peserta sesuai dengan nisbah yang disepakati.
g.      Apabila terjadi kerugian maka perusahaan asuransi sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.
Ke empat: kedudukan para pihak dalam akad Mudharabah Musytarakah
a.       Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan sebagai musytarik (investor)
b.      Peserta (pemegang polis) dalam produk saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor)
c.       Para peserta (pemegang polis) secara kolektif dalam produk non saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor)
Ke lima: investasi
a.       Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
b.      Investasi wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah
Ke enam: Ketentuan Penutup
a.       Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
b.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
3.      Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Wakalah bil ‘Ujrah pada Asuransi Syariah
Pertama: Ketentuan Umum
a.       Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah
b.      Peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syariah
Ke dua: Ketentuan Hukum
a.       Wakalah bil ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan peserta
b.      Wakalah bil ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan pemberian ujrah (fee)
c.       Wakalah bil ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang mengnadung unsur tabungan (saving) maupun unsure tabarru’ (non saving)
Ke tiga: Ketentuan Akad
a.       Akad yang digunakan adalah berupa akad wakalah bil ujrah
b.      Objek wakalah bil ujrah meliputi antara lain: kegiatan administrasi, pengelolaan dana, pembayaran klaim, underwriting, pengelolaan portofolio risiko, pemasaran, dan investasi
c.       Dalam akad wakalah bil ujrah, harus disebutkan sekurang-kurangnya: (a) hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi, (b) besaram cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi, (c) syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ke empat: Kedudukan dan ketentuan Para pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah
a.       Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk mengelola dana.
b.      Peserta sebagai individu dalam produk saving bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa).
c.       Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru’ bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana
d.      Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas izin muwakkil (pemegang polis)
e.       Akad wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan tanggungan (yad dhaman) sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi
f.       Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berham memperoleh bagian dari hasil investasi, karena akad yang digunakan adalah akad wakalah.
Ke lima: Investasi
a.       Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah
b.      Dalam pengelolaan dana/investasi, baik dana tabarru’ maupun saving, dapat digunakan seperti diatas, akad mudharabah dengan mengikuti ketentuan fatwa mudharabah, atau akad mudharabah musytarakah dengan mengikuti ketentuan fatwa mudharabah musytarakah.
Ke enam: Ketentuan Penutup
a.       Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah
b.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
4.      Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syariah
Ke satu: Ketentuan Umum
a.       Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah
b.      Peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syariah
Ke dua: Ketentuan Hukum
a.       Akad tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi
b.      Akad tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan peserta pemegang polis
Ke tiga: Ketentuan Akad
a.       Akad tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong antarpeserta, bukan untuk tujuan komersial.
b.      Dalam akad tabarru’ harus disebutkan sekurang-kurangnya:
1)      Hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu
2)      Hak dan kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok
3)      Ketentuan cara dan waktu pembayaran premi dan klaim
4)      Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ke empat: Kedudukan para pihak dalam Tabarru’
a.       Dalam akad tabarru’ peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lai yang tertimpa musibah
b.      Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu,) dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’)
c.       Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.
Ke lima: Pengelolaan
a.       Pembukuan dana tabarru’ terpisah dari dana lainnya
b.      Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru’
c.       Dari hasi linverasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau akad mudharabah musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad wakalah bil ujrah
Ke enam: Surplus Inderwriting
a.       Jika terdapat surplus underwiritng atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:
1)      Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’
2)      Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syara aktuaria/manajemen risiko
3)      Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.
b.      Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut diatas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
Ke tujuh: Defisit Underwriting
a.       Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru’), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk qardh (pinjaman)
b.      Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’
Ke delapan: Ketentuan Penutup
a.       Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah
b.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
5.      Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syariah
Pertama: Ketentuan Hukum
a.       Akad tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi
b.      Akad tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis
c.       Asuransi syariah yang dimaksud pada poin 1 adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi
Ke dua: Ketentuan Akad
a.       Akad tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong antarpeserta, bukan untuk tujuan komersial
b.      Dalam akad tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
1)      Hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu
2)      Hak dan kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok
3)      Cara dan waktu
4)      Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan
Ke tiga: kedudukan para pihak dalam akad tabrru’
a.       Dalam akad tabarru’ peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah
b.      Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu) dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’)
c.       Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah atas dasra akad wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.
Ke empat: Pengelolaan
a.       Pembukuan dana tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya
b.      Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukuan dalam akun tabarru’
c.       Dari hasil inverstasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau akad mudharabh musytarakah atau memperoleh urjah (fee) berdasarkan akad wakalah bil ujrah
Ke lima: Surplus Underwriting
a.       Jika terdapat surplus underwiritng atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:
1)      Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’
2)      Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syara aktuaria/manajemen risiko
3)      Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.
b.      Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut diatas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
Ke tujuh: Defisit Underwriting
a.       Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru’), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk qardh (pinjaman)
b.      Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’
Ke delapan: Ketentuan Penutup
a.       Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah
b.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
6.      Fatwa No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh)
Pertama: Ketentuan Umum
a.       Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain
b.      Kerugian yangd apat dikenalkan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yangd apat diperhitungkan dengan jelas
c.       Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan
d.      Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah)
e.       Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada taransaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain) seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah
f.       Dalam akad mudharabah dan musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan
Ke dua: Ketentuan Khusus
a.       Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di Lembaga Keuangan Syariah dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya
b.      Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak
c.       Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad
d.      Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara
Ke tiga: Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melaui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010).