SELAMAT DATANG DI QISHOTU ILMI (LOVELY QOLBY)

Senin, 22 Desember 2014

PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)

A.      Pengertian Pemberhentian Kerja
Pemberhentian adalah fungsi operatif terakhir manajemen sumber daya manusia. Istilah pemberhentian sinonim dengan pemisahan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dari suatu organisasi perusahaan. Dengan pemberhentian, berarti berakhirnya keterikatan kerja karyawan terhadap perusahaan.
Karyawan yang dilepas akan kehilangan pekerjaan dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Manajer dalam melaksanakan pemberhentian harus memperhitungkan untung dan ruginya, apalagi kalau diingat bahwa saat karyawan diterima adalah dengan cara baik-baik, sudah selayaknya perusahaan melepas mereka dengan cara yang baik pula.
Pemberhentian harus didasarkan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 KUHP, berperikemanusiaan dan menghargai pengabdian yang diberikannya kepada perusahaan, misalnya memberikan uang pensiun dan pesangon.[1]
Selama bertahun-tahun ada doktrin yang diterima secara luas bahwa manajer dapat memecat atas kehendak mereka sendiri. Akan tetapi, lewat jalur legislatif dan hukum, karyawan semakin banyak memenangkan berbagai hak yang kompleks. Sebagai hasilnya, semakin banyak perusahaan yang mendapat jawaban PHK tidak sah di pengadilan yang tampaknya memandang pekerjaan sebagai bentuk kontrak legal atau hak milik, dengan kira-kira hak yang sebanding. Keputusan mengenai PHK yang tidak sah menantang doktrin hubungan kerja atas kehendak yang digunakan dalam banyak pengadilan.[2]

B.       Alasan-Alasan Pemberhentian Kerja
Pemberhentian karyawan oleh perusahaan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:[3]

1.        Undang-Undang
Undang-undang dapat menyebabkan seorang karyawan harus diberhentikan dari suatu perusahaan. Misalnya, karyawan anak-anak, karyawan WNA atau karyawan yang terlibat organisasi terlarang.

2.        Keinginan Perusahaan
Keinginan perusahaan dapat menyebabkan diberhentikannya seorang karyawan baik secara terhormat ataupun dipecat. Hal semacam ini disebabkan oleh:
a.       Karyawan tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya.
b.      Perilaku dan disiplinnya kurang baik.
c.       Melanggar peraturan-peraturan dan tata tertib perusahaan.
d.      Tidak dapat bekerja sama dan terjadi konflik dengan karyawan lain.
e.       Melakukan tindakan amoral dalam perusahaan.


3.        Keinginan Karyawan
Pemberhentian atas keinginan karyawan sendiri dengan mengajukan permohonan untuk berhenti dari perusahaan tersebut. Permohonan hendaknya disertai alasan-alasan dan saat akan berhentinya, misalnya bulan depan.
Alasan-alasan pengunduran antara lain:
a.       Pindah ke tempat lain untuk mengurus orang tua,
b.      Kesehatan yang kurang baik,
c.       Untuk melanjutkan pendidikan, atau
d.      Berwirausaha.
 Akan tetapi seringkali alasan-alasan di atas hanya dibuat-buat saja oleh karyawan sedangkan alasan yang sesungguhnya adalah balas jasa terlalu rendah, mendapat pekerjaan yang lebih baik, suasana dan lingkungan pekerjaan yang kurang cocok, perlakuan yang kurang adil, dan sebagainya.
Jika banyak karyawan yang berhenti atas keinginan sendiri, hendaknya manajer mencari penyebab sebenarnya dan mengintropeksikan agar karyawan dapat dicegah. Misalnya menaikkan balas jasa dan menciptakan suasana serta lingkungan pekerjaan yang baik. Karyawan yang berhenti atas permintaan sendiri, uang pesangon hanya diberikan berdasarkan kebijaksanaan perusahaan saja karena tidak ada ketentuan hukum yang mengaturnya. 

4.        Pensiun
Pensiun adalah pemberhentian karyawan atas keinginan perusahaan, undang-undang ataupun keinginan karyawan sendiri. Keinginan perusahaan mempensiunkan karyawan karena produktivitas kerjanya rendah sebagai akibat usia lanjut, cacat fisik, dan sebagainya. Undang-undang mempensiunkan seseorang karena telah mencapai batas usia dan masa kerja tertentu. Misalnya usia 55 tahun dan minimum masa kerja 15 tahun.
Karyawan yang pensiun akan memperoleh uang pensiun yang besarnya telah diatur oleh undang-undang bagi pegawai negeri dan bagi karyawan swasta diatur sendiri oleh perusahaan bersangkutan.

5.        Kontrak Kerja Berakhir
Karyawan kontrak akan dilepas atau diberhentikan apabila kontrak kerjanya berakhir. Pemberhentian berdasarkan berakhirnya kontrak kerja tidak menimbulkan konsekuensi karena telah diatur terlebih dahulu dalam perjanjian saat mereka diterima.

6.        Kesehatan Karyawan
Kesehatan karyawan dapat menjadi alasan untuk pemberhentian karyawam. Inisiatif pemberhentian bisa berdasarkan keinginan perusahaan ataupun keinginan karyawan.

7.        Meninggal Dunia
Karyawan yang meninggal dunia secara otomatis putus hubungan kerjanya dengan perusahaan. Perusahaan memberikan pesangon atau uang pensiun bagi keluarga yang ditinggalkan sesuai dengan peraturan yang ada.
Karyawan yang tewas atau meninggal dunia saat melaksanakan tugas, pesangon atau golongannya diatur tersendiri oleh undang-undang. Misalnya, pesangonnya lebih besar dan golongannya dinaikkan sehingga uang pensiunnya lebih besar.

8.        Perusahaan Dilikuidasi
Karyawan akan dilepas jika perusahaan dilikuidasi atau ditutup karena bangkrut. Bangkrutnya perusahaan harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, sedang karyawan yang dilepas harus mendapat pesangon sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Suatu perusahaan yang memecat karyawannya tanpa suatu alasan yang dapat diterima maka pemutusan hubungan itu secara yuridis formal tidak dibenarkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban masing-masing pihak bukan karena pemutusan hubungan kerja, tetapi karena statusnya sebagai karyawan dan majikan. Dengan sendirinya, pihak majikan tetap mempunyai kewajiban membayar upahnya.[4]

C.      Proses Pemberhentian Kerja
Pemberhentian karyawan hendaknya berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang ada agar tidak menimbulkan masalah. Seyogianya pemberhentian dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya, sebagaimana pada saat mereka diterima menjadi karyawan. Dengan demikian, tetap terjalin hubungan informal yang baik antara perusahaan dengan mantan karyawan. Pemecatan karyawan harus didasarkan kepada peraturan dan perundang-undangan karena setiap karyawan mendapat perlindungan hokum sesuai dengan statusnya.
Proses pemecatan atau pemberhentian karyawan harus menurut prosedur sebagai berikut:
1.      Musyawarah karyawan dengan pimpinan perusahaan.
2.      Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.
3.      Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan P4D.
4.      Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan P4P.
5.      Pemutusan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri.
Prosedur ini tidak perlu dilakukan semuanya, jika pada tahap tertentu telah dapat diselesaikan dengan baik. Tetapi jika tidak terselesaikan, penyelesaiannya hanya dengan keputusan pengadilan negeri.[5]
Kemudian menurut Mutiara S. Panggabean Proses Pemberhentian hubungan kerja jika sudah tidak dapat dihindari maka cara yang diatur telah diatur dalam Undang-undang No.12 tahun 1964. Perusahaan yang ingin memutuskan hubungan kerja harus mendapatkan izin dari P4D (Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah) dan jika ingin memutuskan hubungan kerja dengan lebih dari sembilan karyawan maka harus dapat izin dari P4P (Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat) selama izin belum didapatkan maka perusahaan tidak dapat memutuskan hubungan kerja dengan karyawan dan harus menjalankan kewajibannya.
Namun sebelum pemberhentian hubungan kerja harus berusaha untuk meningkatkan efisiensi dengan:
1.      Mengurangi shift kerja
2.      Menghapuskan kerja lembur
3.      Mengurangi jam kerja
4.      Mempercepat pensiun
Meliburkan atau merumahkan karyawan secara bergilir untuk sementara.[6]



[1] Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001), hlm. 205-206
[2] James A. F. Stoner, R. Edward Freeman, Daniel R. Gilbert Jr, Manajemen, Jilid II (Jakarta: PT Prenhallindo, 1996), hlm. 90-91
[3] Nashar, Manajemen Sumber Daya Manusia (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 122-125
[4] I Komang Ardana. Ni Wayan Mujiati. I Wayan Mudiartha Utama, Manajemen Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 276
[5] Nashar, Manajemen Sumber Daya Manusia (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 125-126
[6] Panggabean Mutiara S, Manajemen Sumber Daya Manusia (Bogor: Ghalia Indah, 2004), hlm. 122

Minggu, 21 Desember 2014

Ahli Waris Menurut BW

A.           Ahli Waris menurut Sistem BW
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang berhak menjadi ahli waris. Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris ab intestate berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
1.      Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta turunannya, dengan tidak membedakan urutan kelahiran. Hak mewarisi oleh suami atau istri dari si meninggal, sejak tahun 1935 (di Negeri Belanda tahun 1923) dimasukkan dalam undang-undang, yaitu mereka dipersamakan dengan seorang anak yang sah. Akibatnya peraturan baru ini apabila tiada anak sama sekali, suami atau istri itu mengecualikan anggota keluarga lain.[1]
2.      Golongan kedua, orang tua dan saudara-saudara dari si meninggal. Pada asasnya orang tua itu dipersamakan dengan saudara, tetapi bagi orang tua diadakan peraturan-peraturan yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak kurang dari seperempat harta peninggalan.[2]
3.      Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris.
4.      Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.[3]
Penggolongan ahli waris di atas telah dijelaskan dalam pasal 852-860 KUHPerdt. Sedangkan dalam pasal 861 KUHPerdt menyebutkan bahwa “Keluarga sedarah yang dengan si meninggal bertalian keluarga dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke-enam tak mewaris”.[4] Jadi kalau semua ini tidak ada, maka Negaralah yang menerima harta peninggalan, tetapi tidak sebagai ahli waris.[5]
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, tidak juga membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Sedangkan ahli waris menurut surat wasiat atau testamen jumlahnya tidak tentu, sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat.
Ketentuan yang terdapat dalam BW yang isinya membatasi seseorang pembuat surat wasiat agar tidak merugikan para ahli waris menurut undang-undang, antara lain pasal 881 ayat (2), yaitu: “ Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh merugikan para ahli waris yang berhak atas suatu bagian yang mutlak.”
Orang yang akan menerima sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Harus ada orang yang meninggal dunia (pasal 830 BW)
2.      Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan pasal 2 BW, yaitu: “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya”. Apabila ia meninggal pada saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada.
3.      Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seseorang yang tidak patut mewaris karena kematian, atau tidak dianggap sebagai tidak cakap untuk menjadi ahli waris.
 Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, para ahli waris diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap suatu harta warisan, ahli waris diberi hak untuk memikir selama empat bulan.
Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna menentukan sikap tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban sebagai ahli waris sampai jangka waktu itu berakhir selama empat bulan (pasal 1024 BW). Setelah jangka waktu yang ditetapkan undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga kemungkinan, yaitu:
1.      Menerima warisan secara penuh.
2.      Mnerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu atau disebut dengan istilah “menerima warisan secara beneficiair”.
3.      Menolak warisan.[6]

B.            Pembagian Waris menurut BW
Di atas telah dikemukakan bahwa BW mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya apabila golongan pertama masih ada, maka golongan dua dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW adalah sebagai berikut:
1.      Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah dari pewaris, yaitu anak, suami/duda, istri/janda dari si pewaris. Seorang anak biarpun dari perkawinan yang berlain-lainan atau waktu kelahiran, laki-laki atau perempuan, mendapat bagian yang sama (pasal 852 BW).
Bagian seorang istri (suami), kalau ada anak dari perkawinannya dengan meninggal yang meninggal dunia, adalah sama dengan bagiannya seorang anak. Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama, dan dari perkawinan yang dahulu ada juga anak-anak, maka bagian dari janda (duda) itu tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak-anak yang meninggal dunia. Bagaimanapun juga seorang janda (duda) tidak boleh mendapat lebih dari ¼ dari harta warisan. Di atas disebut bahwa jika ada anak dari perkawinan yang dahulu, maka bagian dari seorang janda (duda) tidak boleh lebih dari bagian terkecil anak-anak peninggal warisan.[7]
2.      Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta saudara. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu, maupun saudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta warisan (pasal 854a BW).
Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia yang hidup paling lama akan memperoleh sebagai berikut:
-          ½ bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki atau perempuan sama saja.
-          1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris.
-          ¼ bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada (pasal 856 BW).
Apabila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara seibu (pasal 857 BW).
3.      Bagian golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun golongan kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving), selanjutnya separuh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris (pasal 858 ayat (1) BW).
4.      Bagian golongan keempat yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang separuh dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada saudara-saudara sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau saudara senenek dengan pewaris (pasal 858 ayat (2) BW).[8]
Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: “Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik Negara, selanjutnya Negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi”.[9]
Bagian seorang anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi diakui (arkend natuurlijk), itu tergantung dari berapa adanya anggota keluarga yang sah. Jika ada ahli waris dari golongan pertama, maka bagian anak yang lahir di luar perkawinan tersebut, sepertiga dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Dan jikalau ia bersama-sama mewarisi dengan anggota-anggota keluarga dari golongan kedua, bagiannya menjadi separuh dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Pembagian warisan harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga bagian anak yang lahir di luar perkawinan itu, harus dihitung dan dikeluarkan terlebih dahulu, barulah sisanya dibagi antara ahli waris yang lainnya, seolah-olah sisa itu warisan yang masih utuh (pasal 863 BW).
Juga terhadap anak yang lahir di luar perkawinan, undang-undang memuat pasal-pasal perihal “penggantian” (plaatsvervulling), sehingga apabila ia meninggal lebih dahulu ia dapat digantikan oleh anak-anaknya.
Menurut undang-undang ada tiga macam penggantian (representative), yaitu:
1.      Penggantian dalam garis lencang ke bawah. Ini dapat terjadi dengan tiada batasnya. Tiap anak yang meninggal lebih dahulu, digantikan oleh semua anak-anaknya, begitu pula jika dari pengganti-pengganti ini ada salah satu yang meninggal lebih dahulu lagi, ia juga digantikan oleh anak-anaknya, dan begitu seterusnya.
2.      Penggantian dalam garis samping (zijlinie), di mana tiap saudara si meninggal, baik sekandung maupun saudara tiri, jika meninggal lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya. Juga penggantian ini dapat dilakukan dengan tiada batasnya.
3.      Penggantian dalam garis samping, dalam hal yang tampil ke muka sebagai ahli waris anggota-anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya daripada seorang saudara, misalnya seorang paman atau keponakan. Di sini ditetapkan, bahwa saudara dari seorang yang tampil ke muka sebagai ahli waris itu, jika meninggal lebih dahulu, dapat juga digantikan oleh turunannya.[10]
Anak yang tidak dapat diakui terdiri atas anak zina dan anak sumbang. Untuk kedua anak ini tidak mendapatkan hak waris, mereka hanya mendapatkan nafkah seperlunya (pasal 867 BW).[11]

C.           Ahli Waris yang tidak dapat menerima Harta Warisan
Undang-undang menyebutkan empat hal dimana orang tidak patut menerima harta warisan, yaitu:
1.      Orang yang telah dihukum karena ia telah membunuh orang yang meninggal itu, atau sekurang-kurangnya telah mencoba untuk membunuhnya. Sudah umum orang yang menganggap bahwa hal ini hanyalah mengenai hukuman karena menewaskan jiwa seseorang dengan sengaja. Orang yang karena kelalaian dalam arti kurang berhati-hati sehingga telah menyebabkan tewasnya pewaris, dan karena itu ia telah dihukum dan juga orang yang telah dihukum karena ia telah melakukan penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang.
2.      Orang yang telah ternyata mendapat vonis hakim, bahwa ia secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si wafat, yaitu suatu pengaduan bahwa si wafat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau lebih berat.
3.      Orang yang dengan kekerasan atau perbuatan yang nyata telah menghalangi si mati membuat atau menarik kembali suatu wasiat. Menghalangi untuk membuat atau menarik kembali berarti juga menghalangi untuk mengubah. Dalam masyarakat kita tidaklah mungkin untuk menghalangi seseorang dengan kekerasan atau dengan perbuatan yang nyata untuk membuat atau menarik kembali suatu wasiat. Perbuatan yang demikian itu biasanya akan terjadi tidak lama sebelum meninggalnya pewaris, atau selama sakit membawa matinya. Jikalau seseorang menghalangi orang lain, misalnya selama sakitnya untuk membuat wasiat atau untuk mengadakan perubahan dalam suatu wasiat yang sudah ada, tetapi si sakit kemudian sembuh, dan sesudah itu mempunyai kesempatan secukupnya untuk melakukan lagi apa yang dikehendakinya, maka tidak berlakulah ketentuan ini.
4.      Orang yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan wasiat si mati. Memalsukan wasiat adalah pekerjaan yang sangat sukar. Menggelapkan atau memusnahkan wasiat adalah tidak mungkin sepanjang untuk membuat wasiat itu dipakai jasa seorang notaries, hanyalah pada codicil atau wasiat yang ditulis sendiri ada kemungkinan sanak keluarga yang licik akan mendapatkan hasil.  
Orang yang tidak dibolehkan mewarisi warisan karena tidak pantas, tetapi sebagai waris pura-pura telah berkesempatan untuk menguasai semua harta peninggalan itu atau sebagian dari padanya, serta telah menikmati hasil dan pendapatannya, maka berkewajiban untuk mengembalikannya. Pada pokoknya, orang tidak pantas tetapi mendapatkan seluruh harta peninggalan atau sebagian dari harta tersebut merupakan orang yang mempunyai i’tikad buruk.[12]



[1] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 25
[2] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), hlm. 99
[3] Ibid., hlm. 26
[4] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 225-229
[5] A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I, (Jakarta: PT Intermasa, 1990), hlm. 41
[6] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm.  26-28
[7]  http://hukum-hukumkeseluruhan.blogspot.com/2009/04/hukum-waris-berdasarkan-bw.html
[8] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 30-32
[9] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 221
[10] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), hlm. 100-101
[11] http://hukum-hukumkeseluruhan.blogspot.com/2009/04/hukum-waris-berdasarkan-bw.html
[12] A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I, (Jakarta: PT Intermasa, 1990), hlm. 28-30

Waris Menurut BW

A.           Hukum Waris menurut BW
Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.[1] 
Hukum waris adalah bagian dari hukum kekayaan. Akan tetapi, erat sekali hubungannya dengan hukum keluarga, karena seluruh pewarisan menurut undang-undang berdasarkan atas hubungan keluarga sedarah dan hubungan perkawinan. Hukum waris tersebut tidak mencampuri hukum publik. Maka dari itu suatu kedudukan jabatan tidak dapat diwariskan kecuali kedudukan raja yang turun temurun yang dapat diwariskan.[2]
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Dalam hukum waris berlaku juga suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.[3]

B.            Warisan dalam Sistem Hukum Waris BW
Berbeda dengan sistem hukum Islam dan sistem hukum adat tentang warisan. Menurut kedua sistem tersebut yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh meninggalnya pewaris. Karenanya harta yang diterima oleh para ahli waris benar-benar hak mereka yang bebas dari tuntutan hutang pewaris. Sedangkan warisan dalam sistem hukum perdata yang bersumber pada BW itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Di atas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut BW mengakibatkan peralihan hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 833 BW, yaitu “ sekalian ahli waris dengan sendirinya demi hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”. Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut “saisine”. Maksud dari “saisine” yaitu ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.[4]
Di dalam BW tidak dikenal perbedaan asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris, seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BW, yaitu “Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam sesuatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”.[5] Jadi di dalam BW tidak memandang harta asal yang dibawa masing-masing ketika menikah maupun harta yang diperoleh selama dalam perkawinan.

C.           Pewaris dan Dasar Hukum Mewaris
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan. Dasar hukum seorang ahli waris yang mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW pasal 874 ada dua cara, yaitu:
1.      Menurut ketentuan undang-undang
2.      Ditunjuk dalam surat wasiat (testamen)
  Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hokum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta kekayaan setelah ia meninggal dunia. Akan tetapi apabila ternyata seseorang tidak menentukan sendiri ketika ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap kekayaannya, maka dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut.[6]
Dalam hal mewarisi menurut undang-undang kita dapat membedakan antara orang-orang yang mewarisi “uit eigen hoofde” dan mereka yang mewarisi “bij plaatsvervulling”. Seorang dikatakan mewarisi jika ia mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si meninggal. Ia dikatakan mewarisi jika sebenarnya seorang lain yang berhak atas suatu bagian warisan, tetapi orang itu telah meninggal lebih dahulu daripada orang yang meninggalkan warisan. Apabila beberapa orang bersama-sama menggantikan seseorang, maka dikatakan mereka itu mewarisi “bij staken” karena mereka itu bersama-sama merupakan suatu “staak” atau cabang. Makin banyak anggota suatu cabang, semakin sedikit bagian masing-masing.[7]
Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris juga dapat melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat atau testament adalah “suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia” (pasal 875 BW).[8]
Sifat utama pembuat surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat surat meninggal dunia, surat wasiat tidak dapat diubah, dicabut maupun ditarik kembali oleh siapapun.
Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruh hartanya dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian dari hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang. Jadi pemberian seseorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab intestate.[9]  
Ahli waris menurut wasiat sama halnya dengan seorang ahli waris menurut undang-undang dalam hal memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal “onder algemene title”.
Suatu testament juga dapat berisikan suatu “legaat”, yaitu suatu pemberian kepada seorang. Adapun yang dapat diberikan dalam suatu legaat dapat berupa:
1.      Satu atau beberapa benda tertentu;
2.      Seluruh benda dari satu macam atau jenis, misalnya seluruh benda yang bergerak;
3.      Hak “vruchtgebruik” atas sebagian atau seluruh warisan;
4.      Sesuatu hak lain terhadap boedel, misalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari boedel.
Isi suatu testament tidak usah terbatas pada hal-hal yang mengenai kekayaan harta benda saja. Dalam suatu testament dapat juga dengan sah dilakukan, penunjukan seorang wali untuk anak-anak si meninggal,  pengakuan seorang anak yang lahir di luar perkawinan, atau pengangkatan seorang executeurtestamentair, yaitu seorang yang dikuasakan mengawasi dan mengatur pelaksanaan testament.
Menurut bentuknya ada tiga macam testament, yaitu:
1.      Openbaar testament
Openbaar testament dibuat oleh seorang notaris. Orang yang akan meninggalkan warisan menghadap pada notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris itu membuat suatu akte dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
2.      Olographis testament
Suatu olographis testament harus ditulis dengan tangan orang yang akan meninggalkan warisan itu sendiri. Harus diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan. Penyerahan tersebut harus pula dihadiri oleh dua orang saksi.

3.      Testament tertutup atau rahasia
Suatu testament rahasia juga dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan ia menulis dengan tangannya sendiri. Suatu testament rahasia harus selalu tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus dihadiri oleh empat orang saksi.
Di samping tiga macam testament tersebut, undang-undang mengenal juga “codicil”, yaitu suatu akte di bawah tangan (jadi bukan akte notaris), di mana orang yang akan meninggalkan warisan itu menetapkan hal-hal yang tidak termasuk dalam pemberian atau pembagian warisan itu sendiri. Misalnya membuat pesanan-pesanan tentang penguburan mayatnya.
Untuk dapat membuat suatu testament, seorang harus sudah mencapai umur 18 tahun atau sudah dewasa, atau sudah kawin meskipun belum berumur 18 tahun. Selanjutnya, orang yang membuat suatu testament harus sungguh-sungguh mempunyai pikiran yang sehat. Jika dapat dibuktikan, bahwa pada waktu orang itu membuat testament pikirannya tidak sehat atau sedang terganggu, testament itu dapat dibatalkan oleh hakim (Pasal 896-898 BW).[10]



[1] A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I, (Jakarta: PT Intermasa, 1990), hlm. 1
[2] Ibid., hlm. 5
[3] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), hlm. 95-96
[4] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 20-23
[5] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 225
[6] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 24-25
[7] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), hlm. 98
[8] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 232
[9] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 25
[10] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), hlm. 107-111