SELAMAT DATANG DI QISHOTU ILMI (LOVELY QOLBY)

Minggu, 21 Desember 2014

Riba

A. Pengertian Riba
Riba secara bahasa bernama: ziyadah, dalam pengertian lain, secara lingustik, riba juga tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[1]
Para ulama’ fiqih mendefiniskan riba dengan :
فضل مال بلا عوض فى معاوضة مال بمال
(Kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya)
Maksudnya, tambahan terahadap modal yang timbul akibat suatu teransaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang  jatuh tempo. Misalnya, sebesar Rp. 100.000,-  untuk selama satu bulan Karim bersedia meminjamkannya, apabila Farhan mengembalikannya Rp. 110.000 pada saat jatuh tempo. Kelebihan uang Rp.10.000 yang harus dibayarkan ke Farhan, dalm termenologi fiqih disebut riba.[2]

B. Macam-Macam Riba
Secar garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-pitutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terabagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Adapun kelompok kedua riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan nasi’ah.
1.             Riba qardh: suatu manfaat atau tingkat kelibihan tertentu yang disaratkan terhadap yang berutang.
2.             Riba jahiliyah: hutang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetakan.
3.             Riba fadahl: pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda sedangkan barang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi
4.             Riba nasiah: penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi yang lainnya. Riba nasiah muncul karena ada perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.[3]
Barang-barang yang berlaku riba padanya ialah emas, perak, dan makanan yang mengenyangkan atau yang berguna untuk yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama jenisnya seperti emas dengan emas, gandum dengan gandum diperlukan tiga syarat: (1) Tunai, (2) Serah terima, dan (3) Sama timbangannya. Kalau jenisnnya berlainan, tetapi illat ribanya berlainan seperti perak dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang-barang yang lain, berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.[4]

عَنْ عُبَادَة بن الصَامِتْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِا لْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشّعِيْرُ بِااشَّعِيْرِ وَالتَّمَرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مَثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءٌ يَدًا بِيَدٍ فَاِذَااخْتَلَفَتْ هذِهِ الْاَصْنَاف فبيعوا كَيْفَ شِئْتُمْ اِذَا كَانَ يَدًا بِيَدً (رواه مسلم واحمد)

Dari Ubadah bin Samit Nabi SAW. bersabda: emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jeraut dengan jeraut, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam hendaklah sama banyaknya, tunai dan serah terima. Apabila berlainan jenisnya, boleh kamu jual sekehendakmu, asal tunai (HR. Muslim dan Ahmad).

C. Hukum Riba
Para ulama’ fiqh sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara riba ini hukumnya haram. Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat al- Quran dan hadist-hadist Rasulullah SAW. Di dalam al-Quran  menurut al  Maraghi, mufasir dari Mesir, proses keharaman riba disyariatkan Allah SWT. secara bertahap, yaitu:
Tahap pertama, Allah SWT. menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif pernyataan ini difirmankan Allah SWT dalam surat ar-Rum: 39 yang berbunyi:
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( ÇÌÒÈ……
Artinya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…….” (QS. al-Rum: 39)
Ayat ini merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, yang menurut para mufassir ayat ini termasuk ayat Makkiyah (ayat-ayat yang diturunkan pada periode Makkah). Akan tetapi, para ulam tafsir sepakat menyatkan ayat ini tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qurtubi, mufassir, menyatakan bahwa Ibnu Abbas mengartikan riba dalam ayat ini dengan “hadiah” yang dilakukan orang-orang yang mengharamkan imbalan mengharamkan berlebihan. Menurutnya, riba dalam ayat ini termasuk riba mubah.
Tahap kedua, Allah SWT. telah memberi isyarat akan keharaman riba melalui ancaman terhadap praktek riba dikalangan masyarakat Yahudi. Hal ini difirmankan-Nya dalam surat an-Nisa’: 161 yang berbunyi:
ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJŠÏ9r& ÇÊÏÊÈ
Artinya:
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (QS. al-Nisa’: 161)
Ayat ini termasuk kelompok ayat  Madaniyah (yang diturunkan pada masa periode Madinah).
Tahap ketiga, Allah SWT. mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda denga larangan yang tegas. Hal ini difirmankan oleh Allah SWT. dalam surat Ali Imran: 130 yang berbunyi:[5]
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( ……. ÇÊÌÉÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda…….” (QS. Ali Imran: 130)
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW. bersabda:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ: اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ قَالُوْا وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ الله ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِالله, وَالسِّحْرُ, وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ الله اِلَّابِاالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفَ الْمُخْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (رواه مسلم)
Dari Abi Hurairah bahwasanya Nabi SAW bersabda: Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan!, orang-orang bertanya apakah gerangannya wahai Rasulullah?, beliau menjawab: sirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, melarikan diri waktu datang serangan musuh dan menuduh wanita mukmin yang suci tetapi lalai. (HR. Muslim)
Pada hadist ini menyatakan bahwa riba termasuk kabair (dosa besar).[6]
Tahap terakhir, Allah SWT. mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surat al-Baqarah: 275, 276 dan 278. Dalam ayat 275 Allah SWT. menyatakan bahwa jual beli sangat berbeda dengan riba. Dalam ayat 277 Allah SWT memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba secara total ini, menurut para pakar fiqh, berkisar pada abad ke delapan atau awal abad ke sembilan Hijriyah.
Alasan keharaman riba dalam sunnah Rasulullah SAW. di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW. dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim tentang tujuan dosa besar, di antaranya adalah memakan riba.[7] Dalam riwayat Abdullah ibn Mas’ud di katakan;
عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِالله قَالَ : لَعَنَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ (رواه مسلم)
Dari ‘Alqomah dari Abdillah berkata: bahwasanya Rasulullah SAW. melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, para saksi dalam masalah riba. (HR. Muslim)

D. Hikmah Pengharaman Riba
Riba diharamkan oleh semua agama samawi. Adapun sebab diharamkannya karena berbahaya besar. Hikmah diharamkan riba adalah sebagai berikut:
1.             Ia dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengikis habis semangat kerja sama/saling menolong sesama manusia. Padahal semua agama terutama Islam amat menyeru kepada saling tolong menolong, pengutamaan dan membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri.
2.             Menimbulkan tumbuhnya mental kelas pemboros yang tidak bekerja, juga dapat menimbulkan adanya penimbunan harta tanpa kerja keras sehingga tak ubahnya dengan pohon benalu (parasit) yang tumbuh di atas jerih payah yang lain.
3.             Riba sebagai salah satu cara menjajah. Karena itu orang berkata: “Penjajahan berjalan di belakang pedagang dan pendeta”. Dan kita telah mengenal riba dengan segala dampak negatifnya di dalam menjajah Negara kita.
4.             Setelah semua ini, Islam menyeru agar manusia suka mendermakan hartanya kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya itu membutuhkan.



[1] Muhammad Syafi’e Antonio, Islamic Banking, (Jakarta: Geama Insani), hlm. 37
[2] Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya: PMN IAIN Press, 2010), hlm. 149
[3] Muhammad Syafi’e Antonio. Opcit. hlm. 37
[4] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), hlm.290
[5] Abd. Hadi, op.cit, hlm. 151
[6] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1996), hlm. 121
[7] Abd. Hadi¸ op.cit, hlm. 152

Tidak ada komentar:

Posting Komentar