SELAMAT DATANG DI QISHOTU ILMI (LOVELY QOLBY)

Minggu, 21 Desember 2014

Ahli Waris Menurut BW

A.           Ahli Waris menurut Sistem BW
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang berhak menjadi ahli waris. Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris ab intestate berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
1.      Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta turunannya, dengan tidak membedakan urutan kelahiran. Hak mewarisi oleh suami atau istri dari si meninggal, sejak tahun 1935 (di Negeri Belanda tahun 1923) dimasukkan dalam undang-undang, yaitu mereka dipersamakan dengan seorang anak yang sah. Akibatnya peraturan baru ini apabila tiada anak sama sekali, suami atau istri itu mengecualikan anggota keluarga lain.[1]
2.      Golongan kedua, orang tua dan saudara-saudara dari si meninggal. Pada asasnya orang tua itu dipersamakan dengan saudara, tetapi bagi orang tua diadakan peraturan-peraturan yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak kurang dari seperempat harta peninggalan.[2]
3.      Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris.
4.      Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.[3]
Penggolongan ahli waris di atas telah dijelaskan dalam pasal 852-860 KUHPerdt. Sedangkan dalam pasal 861 KUHPerdt menyebutkan bahwa “Keluarga sedarah yang dengan si meninggal bertalian keluarga dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke-enam tak mewaris”.[4] Jadi kalau semua ini tidak ada, maka Negaralah yang menerima harta peninggalan, tetapi tidak sebagai ahli waris.[5]
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, tidak juga membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Sedangkan ahli waris menurut surat wasiat atau testamen jumlahnya tidak tentu, sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat.
Ketentuan yang terdapat dalam BW yang isinya membatasi seseorang pembuat surat wasiat agar tidak merugikan para ahli waris menurut undang-undang, antara lain pasal 881 ayat (2), yaitu: “ Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh merugikan para ahli waris yang berhak atas suatu bagian yang mutlak.”
Orang yang akan menerima sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Harus ada orang yang meninggal dunia (pasal 830 BW)
2.      Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan pasal 2 BW, yaitu: “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya”. Apabila ia meninggal pada saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada.
3.      Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seseorang yang tidak patut mewaris karena kematian, atau tidak dianggap sebagai tidak cakap untuk menjadi ahli waris.
 Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, para ahli waris diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap suatu harta warisan, ahli waris diberi hak untuk memikir selama empat bulan.
Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna menentukan sikap tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban sebagai ahli waris sampai jangka waktu itu berakhir selama empat bulan (pasal 1024 BW). Setelah jangka waktu yang ditetapkan undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga kemungkinan, yaitu:
1.      Menerima warisan secara penuh.
2.      Mnerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu atau disebut dengan istilah “menerima warisan secara beneficiair”.
3.      Menolak warisan.[6]

B.            Pembagian Waris menurut BW
Di atas telah dikemukakan bahwa BW mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya apabila golongan pertama masih ada, maka golongan dua dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW adalah sebagai berikut:
1.      Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah dari pewaris, yaitu anak, suami/duda, istri/janda dari si pewaris. Seorang anak biarpun dari perkawinan yang berlain-lainan atau waktu kelahiran, laki-laki atau perempuan, mendapat bagian yang sama (pasal 852 BW).
Bagian seorang istri (suami), kalau ada anak dari perkawinannya dengan meninggal yang meninggal dunia, adalah sama dengan bagiannya seorang anak. Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama, dan dari perkawinan yang dahulu ada juga anak-anak, maka bagian dari janda (duda) itu tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak-anak yang meninggal dunia. Bagaimanapun juga seorang janda (duda) tidak boleh mendapat lebih dari ¼ dari harta warisan. Di atas disebut bahwa jika ada anak dari perkawinan yang dahulu, maka bagian dari seorang janda (duda) tidak boleh lebih dari bagian terkecil anak-anak peninggal warisan.[7]
2.      Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta saudara. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu, maupun saudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta warisan (pasal 854a BW).
Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia yang hidup paling lama akan memperoleh sebagai berikut:
-          ½ bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki atau perempuan sama saja.
-          1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris.
-          ¼ bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada (pasal 856 BW).
Apabila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara seibu (pasal 857 BW).
3.      Bagian golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun golongan kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving), selanjutnya separuh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris (pasal 858 ayat (1) BW).
4.      Bagian golongan keempat yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang separuh dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada saudara-saudara sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau saudara senenek dengan pewaris (pasal 858 ayat (2) BW).[8]
Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: “Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik Negara, selanjutnya Negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi”.[9]
Bagian seorang anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi diakui (arkend natuurlijk), itu tergantung dari berapa adanya anggota keluarga yang sah. Jika ada ahli waris dari golongan pertama, maka bagian anak yang lahir di luar perkawinan tersebut, sepertiga dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Dan jikalau ia bersama-sama mewarisi dengan anggota-anggota keluarga dari golongan kedua, bagiannya menjadi separuh dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Pembagian warisan harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga bagian anak yang lahir di luar perkawinan itu, harus dihitung dan dikeluarkan terlebih dahulu, barulah sisanya dibagi antara ahli waris yang lainnya, seolah-olah sisa itu warisan yang masih utuh (pasal 863 BW).
Juga terhadap anak yang lahir di luar perkawinan, undang-undang memuat pasal-pasal perihal “penggantian” (plaatsvervulling), sehingga apabila ia meninggal lebih dahulu ia dapat digantikan oleh anak-anaknya.
Menurut undang-undang ada tiga macam penggantian (representative), yaitu:
1.      Penggantian dalam garis lencang ke bawah. Ini dapat terjadi dengan tiada batasnya. Tiap anak yang meninggal lebih dahulu, digantikan oleh semua anak-anaknya, begitu pula jika dari pengganti-pengganti ini ada salah satu yang meninggal lebih dahulu lagi, ia juga digantikan oleh anak-anaknya, dan begitu seterusnya.
2.      Penggantian dalam garis samping (zijlinie), di mana tiap saudara si meninggal, baik sekandung maupun saudara tiri, jika meninggal lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya. Juga penggantian ini dapat dilakukan dengan tiada batasnya.
3.      Penggantian dalam garis samping, dalam hal yang tampil ke muka sebagai ahli waris anggota-anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya daripada seorang saudara, misalnya seorang paman atau keponakan. Di sini ditetapkan, bahwa saudara dari seorang yang tampil ke muka sebagai ahli waris itu, jika meninggal lebih dahulu, dapat juga digantikan oleh turunannya.[10]
Anak yang tidak dapat diakui terdiri atas anak zina dan anak sumbang. Untuk kedua anak ini tidak mendapatkan hak waris, mereka hanya mendapatkan nafkah seperlunya (pasal 867 BW).[11]

C.           Ahli Waris yang tidak dapat menerima Harta Warisan
Undang-undang menyebutkan empat hal dimana orang tidak patut menerima harta warisan, yaitu:
1.      Orang yang telah dihukum karena ia telah membunuh orang yang meninggal itu, atau sekurang-kurangnya telah mencoba untuk membunuhnya. Sudah umum orang yang menganggap bahwa hal ini hanyalah mengenai hukuman karena menewaskan jiwa seseorang dengan sengaja. Orang yang karena kelalaian dalam arti kurang berhati-hati sehingga telah menyebabkan tewasnya pewaris, dan karena itu ia telah dihukum dan juga orang yang telah dihukum karena ia telah melakukan penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang.
2.      Orang yang telah ternyata mendapat vonis hakim, bahwa ia secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si wafat, yaitu suatu pengaduan bahwa si wafat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau lebih berat.
3.      Orang yang dengan kekerasan atau perbuatan yang nyata telah menghalangi si mati membuat atau menarik kembali suatu wasiat. Menghalangi untuk membuat atau menarik kembali berarti juga menghalangi untuk mengubah. Dalam masyarakat kita tidaklah mungkin untuk menghalangi seseorang dengan kekerasan atau dengan perbuatan yang nyata untuk membuat atau menarik kembali suatu wasiat. Perbuatan yang demikian itu biasanya akan terjadi tidak lama sebelum meninggalnya pewaris, atau selama sakit membawa matinya. Jikalau seseorang menghalangi orang lain, misalnya selama sakitnya untuk membuat wasiat atau untuk mengadakan perubahan dalam suatu wasiat yang sudah ada, tetapi si sakit kemudian sembuh, dan sesudah itu mempunyai kesempatan secukupnya untuk melakukan lagi apa yang dikehendakinya, maka tidak berlakulah ketentuan ini.
4.      Orang yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan wasiat si mati. Memalsukan wasiat adalah pekerjaan yang sangat sukar. Menggelapkan atau memusnahkan wasiat adalah tidak mungkin sepanjang untuk membuat wasiat itu dipakai jasa seorang notaries, hanyalah pada codicil atau wasiat yang ditulis sendiri ada kemungkinan sanak keluarga yang licik akan mendapatkan hasil.  
Orang yang tidak dibolehkan mewarisi warisan karena tidak pantas, tetapi sebagai waris pura-pura telah berkesempatan untuk menguasai semua harta peninggalan itu atau sebagian dari padanya, serta telah menikmati hasil dan pendapatannya, maka berkewajiban untuk mengembalikannya. Pada pokoknya, orang tidak pantas tetapi mendapatkan seluruh harta peninggalan atau sebagian dari harta tersebut merupakan orang yang mempunyai i’tikad buruk.[12]



[1] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 25
[2] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), hlm. 99
[3] Ibid., hlm. 26
[4] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 225-229
[5] A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I, (Jakarta: PT Intermasa, 1990), hlm. 41
[6] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm.  26-28
[7]  http://hukum-hukumkeseluruhan.blogspot.com/2009/04/hukum-waris-berdasarkan-bw.html
[8] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 30-32
[9] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 221
[10] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), hlm. 100-101
[11] http://hukum-hukumkeseluruhan.blogspot.com/2009/04/hukum-waris-berdasarkan-bw.html
[12] A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I, (Jakarta: PT Intermasa, 1990), hlm. 28-30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar