A.
Ahli Waris menurut
Sistem BW
Undang-undang
telah menetapkan tertib keluarga yang berhak menjadi ahli waris. Ahli waris
menurut undang-undang atau ahli waris ab intestate berdasarkan hubungan darah
terdapat empat golongan, yaitu:
1. Golongan
pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta
turunannya, dengan tidak membedakan urutan kelahiran. Hak mewarisi oleh suami
atau istri dari si meninggal, sejak tahun 1935 (di Negeri Belanda tahun 1923)
dimasukkan dalam undang-undang, yaitu mereka dipersamakan dengan seorang anak
yang sah. Akibatnya peraturan baru ini apabila tiada anak sama sekali, suami
atau istri itu mengecualikan anggota keluarga lain.[1]
2. Golongan
kedua, orang tua dan saudara-saudara dari si meninggal. Pada asasnya orang tua
itu dipersamakan dengan saudara, tetapi bagi orang tua diadakan
peraturan-peraturan yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak
kurang dari seperempat harta peninggalan.[2]
3. Golongan
ketiga, meliputi kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris.
4. Golongan
keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga
lainnya sampai derajat keenam.[3]
Penggolongan
ahli waris di atas telah dijelaskan dalam pasal 852-860 KUHPerdt. Sedangkan
dalam pasal 861 KUHPerdt menyebutkan bahwa “Keluarga sedarah yang dengan si
meninggal bertalian keluarga dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke-enam
tak mewaris”.[4]
Jadi kalau semua ini tidak ada, maka Negaralah yang menerima harta peninggalan,
tetapi tidak sebagai ahli waris.[5]
Undang-undang
tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, tidak juga membedakan
urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika
masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke
atas maupun ke samping. Sedangkan ahli waris menurut surat wasiat atau testamen
jumlahnya tidak tentu, sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si
pembuat wasiat.
Ketentuan
yang terdapat dalam BW yang isinya membatasi seseorang pembuat surat wasiat
agar tidak merugikan para ahli waris menurut undang-undang, antara lain pasal
881 ayat (2), yaitu: “ Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah,
pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh merugikan para ahli waris yang
berhak atas suatu bagian yang mutlak.”
Orang
yang akan menerima sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harus
ada orang yang meninggal dunia (pasal 830 BW)
2. Ahli
waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia.
Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan pasal 2 BW, yaitu: “anak
yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan,
bilamana kepentingan si anak menghendakinya”. Apabila ia meninggal pada saat dilahirkan,
ia dianggap tidak pernah ada.
3. Seseorang
ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak dinyatakan
oleh undang-undang sebagai seseorang yang tidak patut mewaris karena kematian,
atau tidak dianggap sebagai tidak cakap untuk menjadi ahli waris.
Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di
atas, para ahli waris diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya
menentukan sikap suatu harta warisan, ahli waris diberi hak untuk memikir
selama empat bulan.
Selama
ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna menentukan sikap tersebut,
ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban sebagai ahli waris sampai
jangka waktu itu berakhir selama empat bulan (pasal 1024 BW). Setelah jangka
waktu yang ditetapkan undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih
antara tiga kemungkinan, yaitu:
1. Menerima
warisan secara penuh.
2. Mnerima
warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar
hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu atau disebut dengan
istilah “menerima warisan secara beneficiair”.
3. Menolak
warisan.[6]
B.
Pembagian Waris menurut
BW
Di
atas telah dikemukakan bahwa BW mengenal empat golongan ahli waris yang
bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya apabila golongan pertama
masih ada, maka golongan dua dan seterusnya tidak berhak atas harta
peninggalan. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW adalah sebagai berikut:
1. Bagian
golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah dari
pewaris, yaitu anak, suami/duda, istri/janda dari si pewaris. Seorang anak
biarpun dari perkawinan yang berlain-lainan atau waktu kelahiran, laki-laki
atau perempuan, mendapat bagian yang sama (pasal 852 BW).
Bagian seorang
istri (suami), kalau ada anak dari perkawinannya dengan meninggal yang
meninggal dunia, adalah sama dengan bagiannya seorang anak. Jika perkawinan itu
bukan perkawinan yang pertama, dan dari perkawinan yang dahulu ada juga
anak-anak, maka bagian dari janda (duda) itu tidak boleh lebih dari bagian
terkecil dari anak-anak yang meninggal dunia. Bagaimanapun juga seorang janda
(duda) tidak boleh mendapat lebih dari ¼ dari harta warisan. Di atas disebut
bahwa jika ada anak dari perkawinan yang dahulu, maka bagian dari seorang janda
(duda) tidak boleh lebih dari bagian terkecil anak-anak peninggal warisan.[7]
2. Bagian
golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu
orang tua, ayah dan ibu, serta saudara. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu,
maupun saudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan
tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh
kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta warisan (pasal 854a BW).
Jika ibu atau
ayah salah seorang sudah meninggal dunia yang hidup paling lama akan memperoleh
sebagai berikut:
-
½ bagian dari seluruh
harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik
laki-laki atau perempuan sama saja.
-
1/3 bagian dari seluruh
harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris.
-
¼ bagian dari seluruh
harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih
saudara pewaris.
Apabila ayah dan
ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh
pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada
(pasal 856 BW).
Apabila di
antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau
seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua,
bagian yang satu bagian saudara seibu (pasal 857 BW).
3. Bagian
golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas
dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris
golongan pertama maupun golongan kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta
warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving), selanjutnya separuh
yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian
yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris
(pasal 858 ayat (1) BW).
4. Bagian
golongan keempat yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai
derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga
sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang separuh dari pancer ayah atau
dari pancer ibu jatuh kepada saudara-saudara sepupu si pewaris yakni saudara
sekakek atau saudara senenek dengan pewaris (pasal 858 ayat (2) BW).[8]
Dalam pasal 832
ayat (2) BW disebutkan: “Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan
sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik
Negara, selanjutnya Negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan,
sepanjang harta warisan itu mencukupi”.[9]
Bagian
seorang anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi diakui (arkend natuurlijk),
itu tergantung dari berapa adanya anggota keluarga yang sah. Jika ada ahli
waris dari golongan pertama, maka bagian anak yang lahir di luar perkawinan
tersebut, sepertiga dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan
dari perkawinan yang sah. Dan jikalau ia bersama-sama mewarisi dengan
anggota-anggota keluarga dari golongan kedua, bagiannya menjadi separuh dari
bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang
sah. Pembagian warisan harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga bagian anak
yang lahir di luar perkawinan itu, harus dihitung dan dikeluarkan terlebih
dahulu, barulah sisanya dibagi antara ahli waris yang lainnya, seolah-olah sisa
itu warisan yang masih utuh (pasal 863 BW).
Juga
terhadap anak yang lahir di luar perkawinan, undang-undang memuat pasal-pasal
perihal “penggantian” (plaatsvervulling), sehingga apabila ia meninggal lebih
dahulu ia dapat digantikan oleh anak-anaknya.
Menurut
undang-undang ada tiga macam penggantian (representative), yaitu:
1. Penggantian
dalam garis lencang ke bawah. Ini dapat terjadi dengan tiada batasnya. Tiap
anak yang meninggal lebih dahulu, digantikan oleh semua anak-anaknya, begitu
pula jika dari pengganti-pengganti ini ada salah satu yang meninggal lebih
dahulu lagi, ia juga digantikan oleh anak-anaknya, dan begitu seterusnya.
2. Penggantian
dalam garis samping (zijlinie), di mana tiap saudara si meninggal, baik
sekandung maupun saudara tiri, jika meninggal lebih dahulu digantikan oleh
anak-anaknya. Juga penggantian ini dapat dilakukan dengan tiada batasnya.
3. Penggantian
dalam garis samping, dalam hal yang tampil ke muka sebagai ahli waris
anggota-anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya daripada seorang
saudara, misalnya seorang paman atau keponakan. Di sini ditetapkan, bahwa
saudara dari seorang yang tampil ke muka sebagai ahli waris itu, jika meninggal
lebih dahulu, dapat juga digantikan oleh turunannya.[10]
Anak
yang tidak dapat diakui terdiri atas anak zina dan anak sumbang. Untuk kedua
anak ini tidak mendapatkan hak waris, mereka hanya mendapatkan nafkah
seperlunya (pasal 867 BW).[11]
C.
Ahli Waris yang tidak
dapat menerima Harta Warisan
Undang-undang
menyebutkan empat hal dimana orang tidak patut menerima harta warisan, yaitu:
1. Orang
yang telah dihukum karena ia telah membunuh orang yang meninggal itu, atau
sekurang-kurangnya telah mencoba untuk membunuhnya. Sudah umum orang yang
menganggap bahwa hal ini hanyalah mengenai hukuman karena menewaskan jiwa
seseorang dengan sengaja. Orang yang karena kelalaian dalam arti kurang
berhati-hati sehingga telah menyebabkan tewasnya pewaris, dan karena itu ia
telah dihukum dan juga orang yang telah dihukum karena ia telah melakukan
penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang.
2. Orang
yang telah ternyata mendapat vonis hakim, bahwa ia secara fitnah telah
mengajukan pengaduan terhadap si wafat, yaitu suatu pengaduan bahwa si wafat
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun
lamanya atau lebih berat.
3. Orang
yang dengan kekerasan atau perbuatan yang nyata telah menghalangi si mati
membuat atau menarik kembali suatu wasiat. Menghalangi untuk membuat atau
menarik kembali berarti juga menghalangi untuk mengubah. Dalam masyarakat kita
tidaklah mungkin untuk menghalangi seseorang dengan kekerasan atau dengan
perbuatan yang nyata untuk membuat atau menarik kembali suatu wasiat. Perbuatan
yang demikian itu biasanya akan terjadi tidak lama sebelum meninggalnya
pewaris, atau selama sakit membawa matinya. Jikalau seseorang menghalangi orang
lain, misalnya selama sakitnya untuk membuat wasiat atau untuk mengadakan
perubahan dalam suatu wasiat yang sudah ada, tetapi si sakit kemudian sembuh,
dan sesudah itu mempunyai kesempatan secukupnya untuk melakukan lagi apa yang
dikehendakinya, maka tidak berlakulah ketentuan ini.
4. Orang
yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan wasiat si mati. Memalsukan
wasiat adalah pekerjaan yang sangat sukar. Menggelapkan atau memusnahkan wasiat
adalah tidak mungkin sepanjang untuk membuat wasiat itu dipakai jasa seorang
notaries, hanyalah pada codicil atau wasiat yang ditulis sendiri ada
kemungkinan sanak keluarga yang licik akan mendapatkan hasil.
Orang
yang tidak dibolehkan mewarisi warisan karena tidak pantas, tetapi sebagai
waris pura-pura telah berkesempatan untuk menguasai semua harta peninggalan itu
atau sebagian dari padanya, serta telah menikmati hasil dan pendapatannya, maka
berkewajiban untuk mengembalikannya. Pada pokoknya, orang tidak pantas tetapi
mendapatkan seluruh harta peninggalan atau sebagian dari harta tersebut
merupakan orang yang mempunyai i’tikad buruk.[12]
[4] R.
Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2001), hlm. 225-229
[5] A.
Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda
Jilid I, (Jakarta: PT Intermasa, 1990), hlm. 41
[9] R.
Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2001), hlm. 221
[12] A.
Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda
Jilid I, (Jakarta: PT Intermasa, 1990), hlm. 28-30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar