A.
Pengertian
Pemberhentian Kerja
Pemberhentian
adalah fungsi operatif terakhir manajemen sumber daya manusia. Istilah
pemberhentian sinonim dengan pemisahan atau pemutusan hubungan kerja (PHK)
karyawan dari suatu organisasi perusahaan. Dengan pemberhentian, berarti
berakhirnya keterikatan kerja karyawan terhadap perusahaan.
Karyawan
yang dilepas akan kehilangan pekerjaan dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya.
Manajer dalam melaksanakan pemberhentian harus memperhitungkan untung dan
ruginya, apalagi kalau diingat bahwa saat karyawan diterima adalah dengan cara
baik-baik, sudah selayaknya perusahaan melepas mereka dengan cara yang baik
pula.
Pemberhentian
harus didasarkan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 KUHP, berperikemanusiaan
dan menghargai pengabdian yang diberikannya kepada perusahaan, misalnya
memberikan uang pensiun dan pesangon.[1]
Selama
bertahun-tahun ada doktrin yang diterima secara luas bahwa manajer dapat
memecat atas kehendak mereka sendiri. Akan tetapi, lewat jalur legislatif dan
hukum, karyawan semakin banyak memenangkan berbagai hak yang kompleks. Sebagai
hasilnya, semakin banyak perusahaan yang mendapat jawaban PHK tidak sah di
pengadilan yang tampaknya memandang pekerjaan sebagai bentuk kontrak legal atau
hak milik, dengan kira-kira hak yang sebanding. Keputusan mengenai PHK yang
tidak sah menantang doktrin hubungan kerja atas kehendak yang digunakan dalam
banyak pengadilan.[2]
B.
Alasan-Alasan
Pemberhentian Kerja
Pemberhentian
karyawan oleh perusahaan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:[3]
1.
Undang-Undang
Undang-undang
dapat menyebabkan seorang karyawan harus diberhentikan dari suatu perusahaan.
Misalnya, karyawan anak-anak, karyawan WNA atau karyawan yang terlibat
organisasi terlarang.
2.
Keinginan
Perusahaan
Keinginan
perusahaan dapat menyebabkan diberhentikannya seorang karyawan baik secara
terhormat ataupun dipecat. Hal semacam ini disebabkan oleh:
a. Karyawan
tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya.
b. Perilaku
dan disiplinnya kurang baik.
c. Melanggar
peraturan-peraturan dan tata tertib perusahaan.
d. Tidak
dapat bekerja sama dan terjadi konflik dengan karyawan lain.
e. Melakukan
tindakan amoral dalam perusahaan.
3.
Keinginan
Karyawan
Pemberhentian
atas keinginan karyawan sendiri dengan mengajukan permohonan untuk berhenti
dari perusahaan tersebut. Permohonan hendaknya disertai alasan-alasan dan saat
akan berhentinya, misalnya bulan depan.
Alasan-alasan
pengunduran antara lain:
a. Pindah
ke tempat lain untuk mengurus orang tua,
b. Kesehatan
yang kurang baik,
c. Untuk
melanjutkan pendidikan, atau
d. Berwirausaha.
Akan tetapi seringkali alasan-alasan di atas
hanya dibuat-buat saja oleh karyawan sedangkan alasan yang sesungguhnya adalah
balas jasa terlalu rendah, mendapat pekerjaan yang lebih baik, suasana dan
lingkungan pekerjaan yang kurang cocok, perlakuan yang kurang adil, dan
sebagainya.
Jika
banyak karyawan yang berhenti atas keinginan sendiri, hendaknya manajer mencari
penyebab sebenarnya dan mengintropeksikan agar karyawan dapat dicegah. Misalnya
menaikkan balas jasa dan menciptakan suasana serta lingkungan pekerjaan yang
baik. Karyawan yang berhenti atas permintaan sendiri, uang pesangon hanya
diberikan berdasarkan kebijaksanaan perusahaan saja karena tidak ada ketentuan
hukum yang mengaturnya.
4.
Pensiun
Pensiun
adalah pemberhentian karyawan atas keinginan perusahaan, undang-undang ataupun
keinginan karyawan sendiri. Keinginan perusahaan mempensiunkan karyawan karena
produktivitas kerjanya rendah sebagai akibat usia lanjut, cacat fisik, dan
sebagainya. Undang-undang mempensiunkan seseorang karena telah mencapai batas
usia dan masa kerja tertentu. Misalnya usia 55 tahun dan minimum masa kerja 15
tahun.
Karyawan
yang pensiun akan memperoleh uang pensiun yang besarnya telah diatur oleh
undang-undang bagi pegawai negeri dan bagi karyawan swasta diatur sendiri oleh
perusahaan bersangkutan.
5.
Kontrak
Kerja Berakhir
Karyawan
kontrak akan dilepas atau diberhentikan apabila kontrak kerjanya berakhir.
Pemberhentian berdasarkan berakhirnya kontrak kerja tidak menimbulkan
konsekuensi karena telah diatur terlebih dahulu dalam perjanjian saat mereka
diterima.
6.
Kesehatan
Karyawan
Kesehatan
karyawan dapat menjadi alasan untuk pemberhentian karyawam. Inisiatif
pemberhentian bisa berdasarkan keinginan perusahaan ataupun keinginan karyawan.
7.
Meninggal
Dunia
Karyawan
yang meninggal dunia secara otomatis putus hubungan kerjanya dengan perusahaan.
Perusahaan memberikan pesangon atau uang pensiun bagi keluarga yang
ditinggalkan sesuai dengan peraturan yang ada.
Karyawan
yang tewas atau meninggal dunia saat melaksanakan tugas, pesangon atau
golongannya diatur tersendiri oleh undang-undang. Misalnya, pesangonnya lebih
besar dan golongannya dinaikkan sehingga uang pensiunnya lebih besar.
8.
Perusahaan
Dilikuidasi
Karyawan
akan dilepas jika perusahaan dilikuidasi atau ditutup karena bangkrut.
Bangkrutnya perusahaan harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, sedang
karyawan yang dilepas harus mendapat pesangon sesuai dengan ketentuan
pemerintah.
Suatu
perusahaan yang memecat karyawannya tanpa suatu alasan yang dapat diterima maka
pemutusan hubungan itu secara yuridis formal tidak dibenarkan. Dengan demikian,
hak dan kewajiban masing-masing pihak bukan karena pemutusan hubungan kerja,
tetapi karena statusnya sebagai karyawan dan majikan. Dengan sendirinya, pihak
majikan tetap mempunyai kewajiban membayar upahnya.[4]
C.
Proses
Pemberhentian Kerja
Pemberhentian
karyawan hendaknya berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang ada agar
tidak menimbulkan masalah. Seyogianya pemberhentian dilakukan dengan cara yang
sebaik-baiknya, sebagaimana pada saat mereka diterima menjadi karyawan. Dengan
demikian, tetap terjalin hubungan informal yang baik antara perusahaan dengan
mantan karyawan. Pemecatan karyawan harus didasarkan kepada peraturan dan
perundang-undangan karena setiap karyawan mendapat perlindungan hokum sesuai
dengan statusnya.
Proses
pemecatan atau pemberhentian karyawan harus menurut prosedur sebagai berikut:
1. Musyawarah
karyawan dengan pimpinan perusahaan.
2. Musyawarah
pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.
3. Musyawarah
pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan P4D.
4. Musyawarah
pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan P4P.
5. Pemutusan
berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri.
Prosedur
ini tidak perlu dilakukan semuanya, jika pada tahap tertentu telah dapat
diselesaikan dengan baik. Tetapi jika tidak terselesaikan, penyelesaiannya
hanya dengan keputusan pengadilan negeri.[5]
Kemudian menurut Mutiara S.
Panggabean Proses Pemberhentian hubungan kerja jika sudah tidak dapat dihindari
maka cara yang diatur telah diatur dalam Undang-undang No.12 tahun 1964. Perusahaan yang ingin
memutuskan hubungan kerja harus mendapatkan izin dari P4D (Panitia Penyelesaian
Perburuhan Daerah) dan jika ingin memutuskan hubungan kerja dengan lebih dari
sembilan karyawan maka harus dapat izin dari P4P (Panitia Penyelesaian Perburuhan
Pusat) selama izin belum didapatkan maka perusahaan tidak dapat memutuskan
hubungan kerja dengan karyawan dan harus menjalankan kewajibannya.
Namun sebelum pemberhentian hubungan
kerja harus berusaha untuk meningkatkan efisiensi dengan:
1. Mengurangi shift kerja
2. Menghapuskan kerja lembur
3. Mengurangi jam kerja
4. Mempercepat pensiun
Meliburkan atau merumahkan karyawan secara
bergilir untuk sementara.[6]
[1] Malayu S. P.
Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001), hlm. 205-206
[2] James A. F. Stoner,
R. Edward Freeman, Daniel R. Gilbert Jr, Manajemen,
Jilid II (Jakarta: PT Prenhallindo, 1996), hlm. 90-91
[3] Nashar, Manajemen
Sumber Daya Manusia (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 122-125
[4] I Komang Ardana. Ni
Wayan Mujiati. I Wayan Mudiartha Utama, Manajemen
Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 276
[5] Nashar, Manajemen
Sumber Daya Manusia (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 125-126